Bagi rekan-rekan yang menangani perekutan tenaga kerja, pernahkah merasakan bahwa ketika perusahaan sedang dalam keadaan stabil, tidak sedang dalam fase pertumbuhan dan ekspansi yang signifikan, sehingga posisi baru tidak banyak, tapi outstanding jumlah tenaga kerja yang harus direkrut tetap tinggi, pekerjaan sourcing dan selection serasa tidak ada habisnya? Jika pernah bahkan jawabannya saat ini iya, Jangan-jangan, perusahaan anda sedang mengalami bocor halus jumlah tenaga kerja.
Tatkala perusahaan kekurangan jumlah tenaga kerja, maka rekrutmen dan seleksi sebagai garda depan yang menjadi fokus dari perusahaan dan para user untuk segera mengisi kekurangan tenaga kerja di unit kerjanya. Menjadi hal yang wajar, mengingat para user membutuhkan bala bantuan untuk mengerjakan setumpuk pekerjaan di areanya, agar operasional perusahaan tetap dapat berjalan maksimal. Namun selain garda depan, seberapa jauhkah perusahaan sudah memberikan perhatian kepada garda belakang? Kepada para tenaga kerja kita yang mengundurkan diri? Kepada tingkat attrittion rate kita? Yang terkadang tanpa disadari mengakibatkan bocor halus jumlah tenaga kerja kita. Ibarat ban bocor yang dipompa terus menerus tapi tak kunjung penuh. Lalu apa yang harus dilakukan? tentu saja selain mempompa untuk mengisi yang angin yang baru, kita juga perlu menutup kebocoran tersebut.
Untuk menutup kebocoran tersebut, mau tak mau kita harus mencari titik bocor dan membuat rencana tindak lanjutnya agar tenaga kerja yang sudah ada dapat bertahan di perusahaan. Meminjam quote beken yang beredar, “We can’t stop employees from leaving unless we have a plan to make them stay”. Untuk mencari titik bocor tersebut, kita dapat memulai dari melakukan exit interview terhadap setiap karyawan yang mengundurkan diri. Tidak berhenti sampai disana, lebih lanjut kita harus melakukan pengolahan data dan analisa terhadap hasil exit interview. Syukur-syukur bisa sampai di tahap data analytic yang mampu memprediksi secara detail kecenderungan tenaga kerja yang akan mengundurkan diri beserta alasannya. Hasil analisa kemudian menjadi bekal dalam penyusunan rencana tindak lanjut untuk mempertahankan tenaga kerja di perusahaan.
Berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Willis Towers Watson dalam Getting the Compensation Right – To Win Talents @ Digitalization Era di tahun 2019, ditemukan bahwa tiga hal utama yang dapat menjadi tools dalam mempertahankan tenaga kerja agar tidak meninggalkan perusahaan. Ketiga hal tersebut adalah:
- Jalur karir untuk pertumbuhan dan promosi;
- Kompensasi; dan
- Pekerjaan yang menantang dan menarik
Lalu bagaimana dengan tools yang cocok untuk mempertahankan tenaga kerja di perusahaan Anda? Tentunya Anda harus mengacu kepada hasil analisis exit interview terhadap tenaga kerja yang mengundurkan diri di perusahaan Anda.
Melihat pentingnya kestabilan jumlah tenaga kerja yang ada di perusahaan, mau tak mau manajemen, bagian HR dan user tidak dapat memandang sebelah mata terkait isu mempertahankan tenaga kerja yang sudah ada. Karena tingginya jumlah tenaga kerja yang mengundurkan diri (attrition rate) dapat mengakibatkan tidak efektif dan tidak efisiennya sebuah organisasi. Dampak negatif tersebut antara lain:
- Peningkatan biaya rekrutmen dan seleksi, pemborosan sumber daya dan waktu untuk merekrut tenaga kerja pengganti.
- Kegiatan operasional perusahaan menjadi terganggu. Tenaga kerja tidak ada karena mengundurkan diri, namun pekerjaan dan operasional harus tetap berjalan.
- Tenaga kerja adalah aset pengetahuan perusahaan. Kehilangan tenaga kerja berarti kehilangan aset pengetahuan yang dibawa oleh tenaga kerja. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan namun sering terjadi yaitu jika tenaga kerja kita berpindah ke kompetitor, maka aset pengetahuan mereka juga akan menjadi milik kompetitor.
- Tenaga kerja yang mengundurkan diri seringkali juga akan membawa dampak negatif bagi rekan-rekan kerjanya di perusahaan. Tidak menutup kemungkinan, rekan kerja juga akan terinspirasi untuk mengikuti jejak rekannya yang sudah mengundurkan diri.
- Jika tingkat pengunduran diri tenaga kerja sangat tinggi, tentu akan menjadi pertanyaan bagi masyarakat umum, ada apa di dalam internal perusahaan sehingga para tenaga kerjanya tidak bertahan. Dalam jangka panjang, hal ini tentu saja dapat berpengaruh pada merosotnya employeer branding perusahaan, menjadi putaran lingkaran kelam yang berdampak pada sulitnya rekrutmen untuk menarik kandidat di pasar tenaga kerja.
Coaching Consulting Training